Almarhumah Fatimah Rais binti Mad Rais
Januari 2021 merupakan bulan dimana aku kehilangan sosok yang sangat menginspirasi, sangat mencintaiku dengan seluruh jiwa raganya. Nenekku, ibu Fatimah. Ia membesarkanku dan adikku bersama dengan kedua orang tuaku selama hampir 21 tahun berada di sampingku menemani setiap perjuangan dan langkah yang aku tempuh. Ia memberikan dukungan, air mata setiap kali kepergianku dalam memperjuangkan mimpiku membangun studio animasi Anindosta. Ia berdoa tak kenal waktu untuk keselamatan kami semua dan saudari-saudarinya yang telah berpulang lebih dahulu ke rahmatullah.
Tanggal 25 Desember 2020, bapakku terkena wabah terbesar dalam 100 tahun terakhir yaitu virus Corona yang mematikan dan berbahaya. Dengan cepat virus tersebut menular ke nenekku yang sudah rentan usia dan kesehatannya disertai dengan penyakit komorbit yang dideritanya yaitu Stroke. Nenekku telah berjuang selama lebih dari 10 tahun sejak pertama kali terkena penyakit Stroke yang aku saksikan sendiri saat diriku masih anak-anak. Ia tergeletak terjatuh secara tiba-tiba saat ingin memberiku susu botol. Ia terkena Stroke dan hanya tangan dan kaki kirinya saja yang lemah akibat stroke tapi nenekku terus beraktivitas seperti biasa. Ia melawan penyakit itu selama bertahun-tahun dengan bantuan obat-obatan yang harus ia konsumsi untuk meringankan rasa sakit yang dideritanya. Ia merupakan salah satu orang yang sangat taat beribadah sejauh penglihatanku dan pengalamanku. Terkadang aku takjub dengan kegigihannya saat beribadah setiap waktu dan beraktivitas seperti orang dewasa tanpa memperdulikan sakit yang dideritanya.
Ia merupakan sosok yang sangat baik, setiap kali ada pedagang dan penjual makanan atau perabotan selalu ia panggil dan akrab mengobrol. Terkadang membelinya juga. Ia dikenal oleh banyak masyarakat sekitar akibat jual beli seperti itu. Ia sering memperlakukan orang lain bahwa pembantu rumah tanggal seperti saudara sendiri tanpa ada batas yang memisahkan seperti jabatan atau perbedaan tingkat ekonomi. Semua ia perlakukan dengan penuh perhatian dan kasih sayang selayaknya saudara. Tak jarang, orang lain memberikan tempat khusus untuk nenekku di hati mereka. Keakraban yang sangat erat antar mereka seperti bertukar makanan, mengobrol, saling bantu sesama, dan hal-hal lainnya yang aku sering perhatikan secara sengaja maupun tak sengaja. Ia sering menghadiri beberapa pengajian bersama tetangga, dan mengajak pula nenekku untuk makan bersama. Sungguh, demi Allah aku sangat terharu melihat nenekku bersama para tetangga dan masyarakat sekitar. Aku terkadang merasa malu karena tidak bisa seperti nenekku yang dapat melakukan hal-hal tersebut.
Pada awalnya nenekku hanya merasakan gejala demam setelah bapakku dibawa ke rumah sakit akibat gejala yang cukup berat yaitu demam, muntah-muntah, pusing, menggigil. Aku tidak menyangka bahwa bapak dan nenekku terkena Corona sehingga kami tidak menerapkan isoman dengan protokol kesehatan ketat. Setelah bapakku berada di rumah sakit, nenekku merasakan gejala demam selama 1-3 hari dan pada hari ketiga ia muntah. Ibu menyuruhku untuk membawa nenekku ke rumah sakit. Saat itu aku sedang kuliah secara daring, aku menyuruh adikku untuk menyiapkan nenekku dan semua perlengkapannya seperti baju, dan sebagainya untuk persiapan rawat inap di rumah sakit mungkin 3 harian. Setelah ba'da zuhur, aku izin kepada dosenku ibu Agustini untuk mengantar nenekku ke rumah sakit. Aku dan adikku berangkat bersama nenekku ke rumah sakit menaiki mobil online IN Driver yang dipesan. Aku berangkat tepat pukul 2 siang. Sesampainya di rumah sakit, ibuku dengan pakaian perawatnya menemui kami dan membawa nenekku masuk ke rumah sakit.
Nenekku terlihat sehat dan tidak ada sakit yang berarti. Ia menunggu di ruang Unit Gawat Darurat Rumah Sakit Karya Bhakti Pratiwi Bogor untuk bisa mendapatkan ruang rawat inap selama 2 hari. Ibuku mengurus nenekku di UGD sambil ia bekerja. Ia terlihat sangat lelah mengurus nenek dan bapakku selama beberapa hari. Aku sangat sedih melihat kondisi keluargaku yang seperti itu. Virus Corona mengubah kedamaian keluargaku menjadi sebuah kondisi yang sangat berantakan. Pada setiap malam, aku, adikku, dan ibuku melakukan video call ke nenekku dan bapakku yang sedang dirawat di rumah sakit. Nenekku berbicara pelan menyapa dan mengobrol. Permintaannya hanyalah dibawakan buah Salak, itu buah yang disukai oleh nenekku hingga 1 KG buah Salak habis dimakannya. Hanya itu saja yang ia makan selama di rawat di rumah sakit. Ia meminta lagi untuk dibawakan buah Salak, ibuku membawakannya lagi 1 KG. Itu makanan terakhir yang ia makan sebelum dia meninggalkan kami selama-lamanya. Tanggal 3 Januari 2021, kondisi saturasi oksigen nenekku mulai terus menurun hingga dipasangkan selang oksigen dobel namun itu tidak menaikkan saturasi oksigen nenekku. Saturasi oksigen merupakan kandungan oksigen yang berada di dalam darah. Paru-parunya yang terus memutih akibat bercak-bercak Pnemuonia atau radang paru-paru membuat paru-paru nenekku tak sanggup menyerap oksigen yang cukup untuk bertahan hidup melawan keganasan virus ini. Nenekku hanya diam sambil terengah-engah bernafas. Ia menitipkan pesan terakhirnya untuk kami melalui bapakku untuk menjaga aku, adikku, dan ibuku. Pagi hari pada tanggal 5 Januari 2021, ibuku dalam kondisi yang sangat lelah dan demam datang menjenguk nenekku yang sedang dalam kondisi kritis, itu membuat saturasi oksigen nenekku kembali meningkat.
Ibuku melihat nenekku yang terbaring sambil berusaha bernafas dengan sisa tenaga yang dimilikinya. Ibuku berkata untuk tidak usah banyak berbicara kepada nenekku agar tidak membuat ia kehabisan nafas dan energi di saat seperti itu. Setelah itu ibuku pulang ke rumah karena kondisi kesehatannya menurun. Sesampainya di rumah, ia demam tinggi dan meminum obat demam. Siang hari pukul 12, salah satu perawat dan juga teman ibuku menelepon hp adikku karena hp ibuku sedang habis baterainya. Ia memberitahu bahwa nenekku kembali dalam kondisi kritis, hingga nafasnya 1-1. Ibuku panik dan mengajak aku ke rumah sakit sementara adikku di rumah. Kami pergi dengan menaiki motor ke rumah sakit dengan banyak persepsi dan pikiran yang aneh-aneh. Setelah sampai, betapa terkejutnya aku dan ibuku diberitahu bahwa nenekku telah tiada. Ia meninggal dengan tenang. Aku dan ibuku menangis dengan histeris tak kuat menahan kesedihan yang sangat dalam. Adikku pun ikut menangis dengan histeris di rumah saat aku beritahu melalui telepon Whatsapp. Ia nekad untuk pergi ke rumah sakit naik GOJEK.
Kami dalam suasana kesedihan dan rasa duka yang mendalam. Ketidakpercayaan akan kehilangan nenekku pun ikut muncul karena kondisinya yang sehat namun bisa sekejap memburuk. Bapakku dengan kondisinya yang sudah berangsur-angsur pulih ikut melihat ketika nenekku sedang sakaratul maut. Ia menyaksikan dengan kesedihan yang mendalam, meneteskan air mata duka. Aku disodorkan sebuah papan untuk dituliskan nama nenekku yang akan menjadi penanda makamnya. Dengan kondisi yang penuh berlinang air mata, aku kuatkan untuk menulis di papan nisannya. Saudarinya datang ke rumah sakit, mengawal pemakaman nenekku. Hanya dua orang yang sampai di rumah sakit, lalu dua orang lagi sampai setelah almarhumah nenekku sudah sampai di pemakaman Situ Gede Bogor. Pemakaman hanya untuk jenazah Covid-19. Aku tidak menyangka di usianya yang baru menyentuh 70 tahun 4 bulan, nenekku pergi menemui sang khaliq. Ia menemukan ketenangan dan keabadian serta menikmati semua nikmat-nikmat atas segala perbuatan dan amal ibadahnya selama di dunia.
Kematian sebelumnya hanya menjadi pengetahuanku saja dan penglihatan serta pendengaran. Setelah nenekku yang sangat dekat denganku bisa meninggal seperti itu, membuat peninggalan dan kesadaran besar bagiku bahwa kita sewaktu-waktu dapat menemui kematian. Kesadaran itu tumbuh begitu cepat setelah kepergian nenekku. Setelah nenekku meninggal dan bapakku pulang ke rumah karena sudah sembuh dari penyakit Covid-19. Giliran aku dan ibuku pula merasakan penyakit yang sama. Ibuku merasakan sakit yang cukup berat hingga terjadi pembekuan darah yang memaksa untuk menjalani perawatan di rumah sakit selama 2 minggu. Sementara aku hanya menjalani isolasi mandiri dengan gejala yang cukup ringan yaitu demam, menggigil, pusing, diare, dan pegal-pegal. Bapakku mengurus aku dan ibuku. Alhamdulillah adikku tidak terkena penyakit ganas itu, sebuah keajaiban yang luar biasa karena ia kontak begitu dekat dengan kami namun tak ada satupun gejala yang dirasakan oleh adikku. Ia tidak tertular sama sekali virus ini.
Pengalaman ini merupakan jejak peninggalan besar bagi keluarga aku dan merenggut kasih sayang nenekku dari kami. Begitu banyak pelajaran dan hikmah yang dapat diambil dari pengalaman ini. Semua ini aku ceritakan secara lengkap pada blog ini sebagai bukti sejarah bahwa aku memiliki pengalaman seperti ini dan bukti bahwa orang baik selalu ada.
Naufal Ahmad Shiddiq
Penulis
2 Komentar
keep spirit
BalasHapusTerima kasih Zakir!
Hapus